Konsep Arsitektur Rumah Adat di Indonesia

comments

Sebenarnya Indonesia memilki nenek moyang yang sangat ‘jenius’. Sebelum kompas ditemukan, nenek moyang kita telah pandai berlayar di samudra dan memiliki pengetahuan tentang dasar-dasar navigasi melalui letak rasi-rasi di pekatnya langit malam. Bahkan kini, ketika kampanye Teknologi Ramah Lingkungan bergema dimana-mana, sedari dulu tanpa disadari nenek moyang kita telah menjadi arsitek-arsitek andal yang membangun rumah-rumah dengan konsep Teknologi Ramah Lingkungan!

Di luar negeri, konsep Green Building mungkin baru beberapa tahun belakangan ini diterapkan di
Eropa atau Amerika.

Tentu saja banyak sekali bukti-bukti kejeniusan leluhur kita. Bertebaran dari Sumatra hingga Papua, dari Jawa sampai ke Kalimantan sana. Salah satu contoh yang dapat kita lihat adalah arsitektur atau bentuk dari rumah- rumah adat berbagaia etnis di Indonesia. Rata-rata permukaan dari rumah-rumah adat tersebut lebih tinggi daripada permukaan tanah. Tingginya pun bervariasi, ada yang hanya 50 sentimeter sampai 2 meter pun ada. Ada yang disangga batu ataupun bambu-bambu yang panjang, yang jelas permukaan alas rumah harus lebih tinggi dari permukaan tanah.

Beberapa rumah adat atau bangunan tradisional yang mengusung konsep Green Building seperti rumah adat Toraja, rumah Gadang, rumah panggung Baduy Kini pertanyaannya, mengapa bentuk rumah-rumah adat tersebut berada di atas permukaan tanah? Penjelasannya singkat ternyata saja, fungsi dari penyangga rumah itu dimaksudkan untuk membiarkan udara bebas melewati bagian bawah rumah sehingga menjadi ventilasi yang cukup bagi orang-orang yang tinggal di dalam rumah.

Penggunaan bambu untuk penyangga diyakini tahan goyangan gempa. Sejujurnya saya sendiri sebagai penulis pernah membaca artikel di suatu surat kabar regional bahwa seorang profesor Jepang yang sedang mengajar di ITB dan  membuat desain ruang anti-gempa dengan bahan dari BAMBU! Beliau ini juga mengatakan bahwa bambu jika ditancapkan sebagai penyangga akan ikut bergoyang (bergerak dinamis) menyesuaikan dengan gerakan gelombang gempa sehingga tidak akan membuat dinding runtuh. Jika dibandingkan dengan pondasi batuan campur semen dan pasir yang bersifat kaku dan statis beresiko tinggi menimbulkan patahan di dinding.

Selain itu, pemilihan bahan atap dari daun kirai atau ijuk juga bukan tanpa alasan. Tak hanya bersifat ramah lingkungan melainkan juga bisa menyerap dan mengurangi panas matahari yang masuk ke dalam ruang rumah kita.Rumah tradisiobal suku Bugis pun yang dikenal dengan Parimbunis memiliki kaki-kaki penyagga yang cukup tinggi. Jadi, konsep bangunan ramah lingkungan sebenarnya telah menjadi pengetahuan bagi nenek moyang kita yang diwariskan dalam bentuk arsitektur rumah tradisional tiap suku. 

Parimbunis

Woloan



Referensi (alfabetis):


Sumber gambar (alfabetis):

123rf.com [Diunduh: 27 April 2013]
buildipedia.com [Diunduh: 27 April 2013]
moetsz.blogspot.com [Diunduh: 27 April 2013]
phillips.blogs.com [Diunduh: 27 April 2013]

2 comments:




Followers

Twitter

Stats